Kesehatan Mental, Media Sosial, dan Kearifan Jawa: Mengukir Kebahagiaan di Zaman Digital
![]() |
Berpikir Tentang Diri |
Kesehatan Mental, Media Sosial, dan Kearifan Jawa: Mengukir Kebahagiaan di Zaman Digital
Di zaman digital ini, siapa sih yang nggak pernah scroll-scroll media sosial sambil iseng? Rasanya nggak ada. Tiap hari kita disuguhkan potret hidup orang lain yang kelihatannya selalu “sempurna.” Dari feeds Instagram yang aesthetic, cerita di TikTok yang bikin iri, sampai LinkedIn penuh pencapaian. Tapi, pernah nggak sih kamu tiba-tiba merasa cemas, iri, bahkan insecure setelah buka media sosial? Kalau iya, kamu nggak sendiri.
Fenomena ini sebenarnya nggak baru. Media sosial memang sering kali bikin kita lupa melihat diri sendiri. Kita sibuk mengejar validasi, membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, dan akhirnya jatuh dalam lingkaran overthinking yang nggak ada ujungnya. Lalu, gimana cara kita mengatasinya? Nah, ini saatnya kita belajar dari filosofi hidup orang Jawa yang sederhana tapi bermakna dalam.
“Bahagia Itu Diciptakan, Bukan Dicari”
Dalam filsafat Jawa, kebahagiaan itu bukan soal pencapaian besar atau hal-hal yang terlihat mewah, melainkan soal bagaimana kita memaknai proses hidup. Orang Jawa percaya pada konsep legowo, yaitu sikap menerima apa pun yang terjadi dengan hati lapang. Ketika kita fokus menciptakan kebahagiaan dari hal kecil, kita nggak lagi tergantung pada ekspektasi atau validasi eksternal.
Contohnya, apakah kamu perlu makan di restoran mahal untuk merasa bahagia? Orang Jawa akan bilang, kopi di warung pinggir jalan pun bisa jadi momen bahagia kalau kita mampu menikmatinya dengan tulus. Ini pelajaran penting di era media sosial. Alih-alih membandingkan diri dengan kehidupan “sempurna” orang lain, coba nikmati hal-hal kecil dalam hidupmu.
Kontemplasi Ala Teosofi Jawa: Kunci Kesehatan Mental
Filosofi Jawa juga mengenal teosofi, sebuah pendekatan hidup yang menekankan pendalaman batin. Intinya, kita diajak untuk sering-sering berkontemplasi alias introspeksi diri. Di tengah derasnya arus informasi dari media sosial, kita butuh waktu untuk berhenti, diam, dan mendengarkan suara hati.
Dalam proses ini, kita belajar memahami keterbatasan diri tanpa kehilangan optimisme. Misalnya, saat melihat teman yang berhasil cumlaude atau kariernya melesat, kita mungkin merasa tertinggal. Tapi, ngelmu kasidan (ilmu tentang hidup) mengajarkan bahwa setiap orang punya jalan dan waktunya sendiri. Keberhasilan orang lain nggak mengurangi nilai diri kita.
Mawas Diri: Obat dari Rasa Insecure
Konsep mbabar jati diri dalam filsafat Jawa menekankan pentingnya mawas diri. Artinya, kita harus mampu memahami siapa diri kita sebenarnya, termasuk kekuatan dan kelemahan kita. Di era media sosial, ini jadi lebih relevan dari sebelumnya.
Masyarakat modern cenderung terpaku pada kebahagiaan yang bersifat material. Padahal, kebahagiaan sejati ada dalam kemampuan kita menerima diri apa adanya. Ketika kamu bisa berdamai dengan ketidaksempurnaan, rasa iri, cemas, atau insecure yang muncul karena media sosial perlahan akan memudar.
Budi dan Kesejatian Hidup
Filosofi Jawa mengenal gumelaring agesang, atau kesejatian hidup. Di sini, budi (kebijaksanaan batin) berperan sebagai pengontrol pikiran. Misalnya, saat kita melihat pencapaian orang lain di media sosial, budi mengajarkan kita untuk bijak menilai: apakah itu sesuatu yang benar-benar penting bagi kita, atau hanya sekadar tuntutan ego?
Konsep ini juga mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari materi, tetapi dari keadaan batin yang tenang. Dalam kondisi suwung (kosong), kita nggak lagi dikuasai ambisi atau nafsu untuk selalu lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, kita bisa menikmati hidup selaras dengan alam dan diri sendiri.
Relevansi Filosofi Jawa di Era Digital
Zaman memang sudah berubah, tapi kebijaksanaan Jawa tetap relevan. Di tengah tekanan media sosial yang menuntut kita selalu “sempurna,” filsafat Jawa mengajak kita untuk kembali ke dalam diri, menciptakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana, dan menjaga keseimbangan batin.
Alih-alih terus-menerus mengejar validasi eksternal, mari fokus pada apa yang ada dalam kendali kita. Dengan begitu, kita nggak hanya menjaga kesehatan mental, tapi juga menemukan makna hidup yang sejati.
Jadi, yuk mulai legowo! Ingat, bahagia itu nggak perlu dicari jauh-jauh. Kadang, jawabannya ada di secangkir kopi di pagi hari atau tawa ringan bersama teman-teman. Matur nuwun, filosofi Jawa!
Komentar
Posting Komentar